Jumat, 23 Maret 2012

Peran swasta dalam pembinaan olahraga

SEJAK tanggal 9 September 1981, bangsa Indonesia telah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas). Bertepatan dengan peringatan Hari Olahraga ini agaknya perlu dilakukan evaluasi terhadap perjalanan panjang kegiatan olahraga di Indonesia dan khususnya di Propinsi Nusa Tengagra Timur (NTT).
Kondisi saat ini bisa dikatakan "jalan di tempat". Hal itu tercermin dari miskinnya prestasi internasional yang berhasil diraih oleh para atlet Indonesia. Tingkat pencapaian prestasi olahraga, baik berupa jumlah perolehan medali maupun tingkat partisipasi Indonesia dalam even-even olahraga internasional menunjukkan penurunan. Keterpurukan dan ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang olahraga memperoleh tanggapan dan perhatian serius dari pemerintah.
Dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang olahraga, pada bulan September 1981 pemerintah secara khusus mencanangkan program Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat. Seiring dengan ini dua tahun kemudian, tahun 1983 pemerintah membentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pemuda dan Olahraga (Kantor Menpora) dan pada tingkat Daerah juga terbentuk Kantor Dinas Pemuda dan Olagraga (Dispora) dengan tugas pokok antara lain melaksanakan dan mengkoordinasikan pembangunan olahraga.
Upaya pemerintah ini sangat penting. Kegiatan olahraga, selain merupakan sarana peningkatan prestasi baik untuk lokal, regional, nasional dan internasional, olahraga bagi masyarakat sangat bermanfaat sebagai aktivitas untuk menjaga kebugaran jasmani dan kesehatan, sekaligus akan menanamkan pola perilaku hidup sehat.
Langkah demikian sesuai konsep dan definisi olahraga yaitu kegiatan seseorang yang dengan sengaja meluangkan waktunya untuk malakukan satu atau lebih kegiatan fisik, dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani secara teratur atau meningkatkan prestasi atau untuk hiburan.
Kegiatan olahraga dapat berupa latihan atau pertandingan atau untuk rekreasi (hiburan). Melaksanakan kegiatan seperti berjalan kaki ke tempat bekerja, mengayuh sepeda ke pasar dan kegiatan lain yang tidak dikhususkan untuk olahraga tidak dikategorikan sebagai melaksanakan olahraga.
Setidaknya ada tiga tantangan pembangunan olahraga sekarang ini dan ke depan. Pertama, tingginya tuntutan publik terhadap prestasi olahraga agar maju sama dengan prestasi negara lain, daerah lain, kelompok/orang lain (kompetensi dan hasil prestasi). Kedua, menjadikan olahraga sebagai instrumen pembangunan dan ketiga, desentralisasi pembangunan olahraga.
Ketiga tantangan tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama perlu dicermati dan diantisipasi secara sungguh-sungguh. Adanya keinginan yang kuat untuk melaksanakan ketiganya dalam satu ayunan kebijakan sungguh dibutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi. Bagaimana tantangan ini bagi kebutuhan masyarakat olahraga Nusa Tenggara Timur?
Peran swasta
Olahraga dalam kegiatannya telah menjadi perhatian banyak pihak, tidak saja insan-insan olahraga tetapi juga pengusaha, insan pers, intelektual, perbankan, birokrat, militer, pemerintah daerah, pelajar, ahli dan masyarakat umum.
Artinya olahraga telah masuk ke dalam domain publik dan bukan lagi merupakan monopoli mereka yang mengaku insan olahraga semata. Tentu saja keterlibatan banyak pihak dari berbagai lembaga, latar belakang yang beragam tersebut merupakan sesuatu yang sangat positif.
Kami ambil contoh, turnamen sepakbola antarklub di Kota Kupang yang diselenggarakan secara bersama antara SKH Pos Kupang dengan Dji Samsoe yang diikuti 16 kesebelasan, memperlihatkan suatu kerjasama tim yang kompak, serasi dan terpadu, lancar dan sukses. Begitu pula penyelenggaraan lomba balap sepeda motor yang disponsori oleh Yamaha, Zuzuki dan klub-klub bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah telah berhasil dengan baik. Peran swasta dalam pembinaan olahraga terbukti menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat dan menggembirakan.
Kita sadari bahwa selama ini dana olahraga banyak tergantung pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota se-Nusa Tenggara Timur. Dan kita juga mengetahui bahwa dana pemerintah untuk olahraga terbatas karena masih dibutuhkan untuk kebutuhan pembangunan lainnya yang lebih prioritas.
Mengambil hikmah dari even-even olahraga yang diselenggarakan oleh komponen masyarakat swasta, pengusaha, mahasiswa, maka sekarang ini dalam paradigma baru pembangunan olahraga kita perlu meningkatkan peranserta para pengusaha/swasta serta elemen stakeholder lainnya. Mereka perlu diberikan dukungan untuk menyelenggarakan pertandingan atau pembinaan cabang-cabang olahraga guna mempertahankan dan meningkatkan prestasi olahraga di Nusa Tenggara Timur.
Alangkah indahnya ada suatu kepastian pembinaan dan masa depan bagi atlet/pelatih di Nusa Tenggara Timur apabila setiap pengurus daerah (pengda) olahraga, pengurus cabang (pengcab) olahraga dan klub ada satu pemisahan dan beberapa orang pengusaha/institusi, tergerak menjadi pembina/sponsor baik dalam hal dana, tenaga pelatih dan lainnya. Dengan kata lain, alangkah bagusnya jika ada yang mau menjadi "Bapak Angkat" dalam pembinaan olahraga di daerah ini.
Sungguh dapat dimengerti bahwa dalam realitas ada kalanya olahraga tumbuh sebagai konsekuensi pembangunan ekonomi, sosial yang telah mapan akan tetapi sangat mungkin berlaku sebaliknya olahraga menjadi sebab tumbuh kembangnya ekonomi sosial.
Kendati demikian perlu ditegaskan bahwa pembangunan olahraga tidak hanya untuk meraih "kebanggaan" atau "kehormatan" semata. Melainkan ditujukan pada peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia, fondasi yang kuat untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Desentralisasi
Inti dari desentralisasi pembangunan olahraga adalah pemberdayaan masyarakat, perubahan prakarsa dan kreativitas. Desentralisasi di Negara Indonesia ada pada daerah Kabupaten/Kota, ibaratnya bola ada di Pemerintah Kabupaten/Kota. Lalu bagaimana model pembangunan olahraga era otonomi daerah di Nusa Tenggara Timur?
Secara konsepsial, telah dirancang pola pembinaan atlet secara berjenjang mulai dari anak-anak usia dini setingkat sekolah dasar, dibina, diseleksi untuk mengikuti kompetisi sampai tingkat nasional. Demikian juga anak-anak usia tingkat SLTP/SLTA mengikuti seleksi kompetisi Pekan Olahraga Nasional (Popnas), juga Pekan Olahraga Mahasiswa.
Hasil pembinaan usia dini, Popnas, dan pembinaan pada klub-klub olahraga diidentifikasi dalam rangka pembinaan dan peningkatan prestasi minat PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) terhadap cabang-cabang pilihan yang cocok dengan potensi daerah dan karakteristik masyarakat setempat. Ada cabang-cabang prioritas untuk dibina dan semua fasilitas untuk atlet ditanggung dan dibiayai pemerintah melalui Kantor Dinas Pemuda dan Olahraga.
Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Olahraga menjadi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional diharapkan dapat membawa dampak positif dan pencerahan bagi masa depan olahraga di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur.
Salah satu strategi penting dalam percepatan peningkatan prestasi olahraga di Nusa Tenggara Timur adalah dihidupkannya kembali Pekan Olahraga Daerah sebagai sarana menjaring atlet dari masing-masing daerah melalui kompetisi. Mulai tanggal 9 sampai dengan 14 September 2005 diselenggarakan Pordafta (Pekan Olahraga Daratan Flores dan Lembata) selanjutnya pertengahan bulan Oktober akan diselenggarakan Pekan Olahraga Daratan Timor (Pordat) di Kota Kupang yang melibatkan atlet dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS, TTU Belu) dan selanjutnya di Waikabubak Sumba Barat diselenggarakan Pordasar (Pekan Olahraga Daratan Sumba, Rote Ndao dan Alor). Pada tahun 2006/2007 akan dilaksanakan POR Nusa Tenggara Timur untuk menjaring atlet-atlet sebagai persiapan kontingen Nusa Tenggara Timur menghadapi PON XVII Tahun 2008 di Samarinda, Kalimantan Timur. Semua ini tentu membutuhkan dukungan banyak pihak termasuk kalangan dunia usaha/swasta.

Filsafat Pendidikan dan Implikasinya

Pendahuluan
Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu pendidikan itu digelar ?
Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat agak terburu-buru-- ini berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita sebagai para pekerja pendidikan (education workers) !

Tiga Paradigma Utama Pendidikan

Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan[1] lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah” masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa. Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape !
Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota[2]. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan. Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya[3]. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia[4].
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang[5].

Kesadaran Manusia

Setiap praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib, mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis, adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)[6]. Manusia nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University[7] :
Dari teori S-R :
· Murid harus aktif
· Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan) dilakukan belajar secara berulang-ulang.
· Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
· Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
· Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
· Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
· Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai keseluruhan yang lebih kompleks.
· Secara kultural belajar relatif. Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
· Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
· Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
· Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
· Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
· Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
· Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
· Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
· Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training ke-karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan kelompok (group dynamic) memakai teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
· Inti dari konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
· Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengaruh lingkungan (environment) sekitarnya. B = f (P.E)
· Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-), influence (+) dan controll (-/+).
· Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.

Penutup

Demikian makalah singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan, peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan berikutnya.
Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan latihan dinamika kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan Dinamika Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu, penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa (sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm Knowles (tahun terbit lupa)
9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan pendidikan kritis lainnya.
...kami adalah mata pena yang tajam
yang siap menggoreskan kebenaran
tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman ...
(Tekad, Izzatul Islam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar