Sabtu, 31 Desember 2011

Manajemen Keuangan Masalah Utama Birokrasi

Bab 1
Pendahuluan
Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan adalah suatu kegiatan perencanaan, penganggaran, pemeriksaan, pengelolaan, pengendalian, pencarian dan penyimpanan dana yang dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan.
Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau+cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari penyakit korupsi serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial, politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah perilaku para koruptor dan  para birokrat.
Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu saja dan  itupun  terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat lupa dan kasus dianggap selesai.
Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang dari masalah korupsi dalam suatu birokrasi?
2.      Apa saja sebab-sebab masalah korupsi dalam suatu birokrasi dapat terjadi?
3.      Apakah ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung korupsi?
4.      Apa saja dampak dari suap dan korupsi bagi pelakunya dan masyarakat luas?
5.      Hukuman apa sajakah yang pantas diberikan pada semua pelaku korupsi?

Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui latar belakang penyebab terjadinya korupsi pada suatu birokrasi.
2.      Untuk mengetahui apa saja dampak dari suap dan korupsi bagi pelakunya dan bagi masyarakat luas.
3.      Untuk mengetahui segala hal tentang korupsi khususnya korupsi dalam suatu birokrasi.

Kerangka Teori
  • Kerangka Teori atau Kerangka Pikir atau Landasan Teori adalah kesimpulan dari Tinjauan Puskata yang berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.
  • Berdasarkan Kerangka Teori diatas disusunlah Kerangka Konsep yaitu suatu pengalaman yang menggambarkan hubungan antar subjek yang akan diliti.
Sumber Data
Buku As-Sunnah Edisi 3 tahun XIV 29 September 2011 oleh Ustadz Zainal Abidin,Lc.
Metode dan Teknik
Metode yang digunakan untuk menyelesaikan makalah ini adalah metode bukan penelitian lapangan melainkan metode penelitian kepustakaan.

Bab 2
Pembahasan
Budaya Korupsi Makin Berkarat
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari penyakit korupsi serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial, politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah perilaku para koruptor dan  para birokrat.
Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu saja dan  itupun  terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat lupa dan kasus dianggap selesai.
Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung kejahatan korupsi dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah mandul tidak memberi pengaruh pada prilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu merubah prilaku lebih bagus dan mental lebih baik sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang shalat,
Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (Qs al-Ankabût/29:45).
Benar apa yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar maka shalatnya tidak bisa disebut shalat bahkan akan menjadi bumerang bagi pelakunya.
Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan perindustrian tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighasah, renungan dan mabit mereka lakukan, namun cacatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tidak berkurang. Aksi kriminalisasi sosial dan agama makin marak, bahkan korupsi, suap, sogok, pungli dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal logging (pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan) dan illegal mining (penambangan liar) makin subur.
Kenapa korupsi dan budaya suap menjadi tradisi yang susah diberantas? Sebab utama adalah keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar, lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang tidak tegas terhadap pelaku korupsi bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum sama sekali.
Sebab-Sebab Korupsi
Mental korupsi melekat pada diri sebagian anak bangsa. Limbah suap mencemari setiap lorong kehidupan. Budaya KKN menghiasi hampir seluruh lapisan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun atas. Tidak bisa dipungkiri, para koruptor yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta adalah manusia biasa, kadang imannya menguat, kadang melemah. Ketika iman sedang menguat, keinginan untuk berbuat baik juga menguat. Namun ketika iman melemah, kecenderungan berbuat jahatpun menguat termasuk korupsi dan maksiat lainnya. Ada beberapa faktor yang secara signifikan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi dan menistakan harga diri dengan menerima suap dan uang pelicin dalam menjalankan tugas dan amanah pekerjaannya, diantaranya:
  1. Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
  2. Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
  3. Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan,  prilaku amanah dan profisionalime.
  4. Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
  5. Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
  6. Terpengaruh dengan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
  7. Terpengaruh dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang meyimpang dan matrialistis.
  8. Terpedaya dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat sehingga silau dengan fatamorgama dunia. Bahkan muncul anggapan bahwa harta benda adalah segala-galanya.
  9. Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat para pemimpin dan pejabat gampang korupsi.
  10. Tekanan pihak asing yang senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi suatu negara akan membuat para pengelola negara gampang terjebur dalam tindak korupsi.
Barangsiapa yang ingin memerangi korupsi hendaknya menganalisa sebab-sebab diatas secara cermat dan mencari solusi serta penangkalnya secara bijaksana dan penuh dengan ketegasan dalam memberi sanksi. Namun sehebat apapun aturan hukum yang ingin diterapkan maka Islam merupakan solusi utama untuk menghilangkan tradisi korupsi karena dengan keimanan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara benar yang disertai dengan keimanan kepada nama-nama dan sifat-sfat-Nya secara aplikatif lalu ditambah beriman kepada malaikat yang senantiasa mencatat semua ucapan dan perbuatan manusia. Jika ini sudah benar, maka akan muncul murâqabah, control penuh dan interopeksi sempurna terhadap seluruh tindakan yang diperbuat seorang hamba.
Mengubur Tradisi Korupsi dan Budaya Suap
Mengakarnya budaya korupsi, suap, sogok, money politics, pungli dan kelompok turunannya di tubuh birokrasi setiap lembaga, baik negeri maupun swasta merupakan fakta dan tantangan paling fenomenal bagi agama-agama samawi, terutama agama Islam, yang secara tegas mengutuknya. Sebagaimana yang telah ditegaskan Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَاشِي وَالمُرْتَشِيْ
Rasulullah mengutuk orang yang menyuap dan orang yang disuap.
Dalam bahasa agama, korupsi, suap, sogok, uang pelicin, money politics, pungli dan kelompok turunannya digolongkan sebagai risywah, yakni tindakan atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan pihak penerima agar keputusannya menguntungkan pihak pemberi meski dengan melawan hukum.
Umumnya, risywah terjadi melalui kesepakatan antara dua pihak yaitu pemberi suap (râsyi) dan penerimanya (murtasyii). Tapi, kadang ia juga melibatkan pihak ketiga sebagai perantara atau dikenal sekarang dengan sebutan markus (makelar kasus).
Praktik risywah semula berakar dan tumbuh hanya di ruang pengadilan, kemudian berkembang hampir ke semua lini kehidupan masyarakat, bahkan untuk suatu yang tidak logis. Risywah tidak hanya subur di negara kita, di negara lain, termasuk di negara maju sekalipun juga berkembang. Padahal, Islam menegaskan, risywah merupakan tindakan yang sangat tercela, dibenci agama, dan dilaknat Allâh dan Rasul-Nya.
Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.
Oleh karena itu, memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang benar suatu keharusan. Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Menghamba secara tulus kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala berarti menjalankan amanah. Ulama dan ahli agama menjalankan amanah dengan menyebarkan risalah agama, presiden menjalankan amanah melalui jabatannya, semua wakil rakyat, pejabat publik dan kita sebagai rakyat, wajib menjalankan amanah dengan menjadi warga negara yang baik. Dengan kata lain, semua harus menjalankan ketaatan, patuh, dan tunduk  sesuai dengan posisi masing-masing. Bila  sikap amanah menjadi penghias dalam bekerja dan muamalah, kesuksesan dan kepercayaan akan teraih. Tak heran jika Islam sangat mengutamakan amanah dalam bekerja dan muamalah meskipun kepada orang kafir.
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Qs an-Nisâ‘/4:58).
Amanah yang dimaksudkan di sini mencakup semua bentuk amanah yang wajib atas manusia, mulai dari hak Allâh atas hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nazar, dan lain sebagainya. Juga sesuatu yang diamanahkan meski tak seorang hamba pun mengetahuinya, seperti titipan dan lain sebagainya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikannya.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allâh dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (Qs al-Anfâl/8:27).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbâs radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Ibnu Abu Hâtim rahimahullah, berkata, “Seluruh pekerjaan yang diamanahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap hamba-Nya yaitu perkara fardhu, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya ‘Janganlah kalian khianati Allah, yakni jangan kalian mencuranginya.
Bermodal kesadaran di atas, seharusnya kita mampu keluar dari kebiasaan buruk risywah dan mengubur tradisi korupsi sedalam-dalamnya. Risywah membuat orang lain kehilangan hak, negara kehabisan devisa, dan rakyat terancam masa depan dan hidup menderita.
Risywah yang dilakukan oleh perorangan itu, pada akhirnya membawa kerusakan yang konkrit secara kolektif dan menyeluruh. Moral bangsa rusak secara sistematis, kredibilitas negara rusak, nama harum bangsa ternodai, karakter anak bangsa tercemar dan kita kehilangan pegangan dalam menentukan masa depan anak cucu.
Efek Suap dan Korupsi
Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah-daging di Indonesia, semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih. Tampaknya, semua urusan bisa berjalan lancar asalkan ada “saling pengertian”. Bahkan, semua menjadi “bisa diatur” sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Ini sudah menggurita dan berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara.
Pelaksanaan tender proyek di beberapa instansi misalnya, seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan dan lain sebagainya. Sungguh tak lagi berjalan secara profesional. Nilai kontrak dalam pengadaan barang dan jasa sering kali di-mark up atau digelembungkan sebelum dilaksanakan. Dan sudah menjadi rahasia umum siapapun yang bisa lolos me-mark up anggaran akan mendapat imbalan, padahal mereka sudah digaji. Dan bagaimana uang semacam itu dapat mengalir kepada mereka padahal tidak ada perinciannya dalam anggaran? Tentu karena ada penyimpangan.
Ada seseorang yang pernah terjebur dalam urusan semacam itu mengatakan bahwa ia menawarkan kepada suatu instansi, harga satu rim kertas HVS  Rp 26.000, Ia sudah mendapatkan laba untuk perhitungan itu. Di luar dugaan, pihak instansi memberikan harga lebih mahal, Rp 28.000  dan yang lebih mengagetkan lagi mereka meminta agar kuitansi tagihannya  ditulis dengan harga Rp 45.000. Alasannya macam-macam. Karena orang yang menawarkan ini mengetahui hukum me-mark up anggaran dan sanksinya di dunia maupun di akherat, dia menolak tawaran itu, yang artinya dia rela melepas keuntungan sekitar Rp 10 juta per bulan. Bagaimana dengan proyek bernilai milyaran?.
Yang pasti, saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, sehingga pekerjaan dan hasilnya pun tidak profesional seperti yang diharapkan. Karena sering kali ada istilah “saling pengertian”  dengan mengorbankan kualitas komponen dan spesifikasi pekerjaan akan lolos saat pemeriksaan. Karena si pemeriksa sudah dibutakan dengan tebalnya amplop. Maka jangan heran jika jembatan baru dibangun jebol, jalan umum baru dibuat rusak, gedung baru dibikin hancur.
Jelas, suap dan semacamnya hanya akan merugikan negara dan masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu-menahu akan terus hidup sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi bahkan hanya untuk memperkaya pribadi. Akibat selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pemerintah memudar. Ditambah lagi dengan berita tentang hukum yang dapat diperjual-belikan. Ini semakin membuat pesimis para pencari keadilan sehingga kondisinya persis seperti yang digambarkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya:
بَادِرُوْا بِالأَعْمَالِ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ وَبَيْعُ الحُكْمِ وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَنَشْأً يَتَّخِذُوْنَ القُرْآنَ مَزَامِيْرَ يُقَدِّمُوْنَ أَحَدُهُمْ لِيُغَنِّيَهِمْ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّهُمْ فِقْهًا
Bergegaslah melakukan amal (sebelum datang-red) enam perkara:  munculnya pemimpin yang pandir, banyaknya pembela pemimpin dzalim, jual beli hukum, meremehkan darah, putusnya silaturahim, hadirnya generasi muda yang menjadikan al-Qur’ân sebagai seruling, ia dijadikan tokoh bagi umat manusia meskipun ilmunya sangat sedikit.
Akhirnya, kecemburuan kepada orang kaya dan para pengelola negara tak terbendung, kebencian rakyat kepada mereka memuncak sehingga mereka sangat mudah terprovokasi dan terbawa arus anarkis.
Bagi dunia bisnis atau usaha swasta, semua yang tidak dijalankan secara profesional akan menurunkan daya saing. Kalau kebesaran dan kemajuan bisnis hanya bergantung kepada kedekatan dengan pejabat, kerabat, atau dukungan aparat, bukan dilandasi profesionalisme, akan mudah goyah dan tak akan mampu berkompetisi dalam persaingan sehat. Dan bila para pengusaha dan aparat negara sudah kongkalikong, timbullah penyelewengan, penyelundupan, penggelapan dan seterusnya.
Bila nepotisme dan suap menjadi azas dalam dunia kerja, maka pegawai yang diterima tidak lagi profesional dan transparan, tidak lagi berdasarkan kualifikasi yang benar. Sehingga terjadilah ketidakadilan. Orang-orang yang memenuhi syarat terzalimi; Orang yang seharusnya pantas memegang amanah pekerjaan dan jabatan, tersingkirkan.
Ketika diminta menjelaskan dampak suap-menyuap, Syaikh Bin Bâz rahimahullah menguraikan, “Di antara dampak suap adalah antara lain menzalimi orang-orang lemah, melumatkan hak-hak mereka, atau mereka terlambat dalam mendapatkan hak-hak tersebut, dan demikian itu setelah melalui proses berbelit-belit atau pemberian uang pelicin.  Suap bisa merusak moral orang-orang yang mengambil uang suap, baik seorang hakim, pegawai dan yang lainnya. Bahkan mereka memenangkan kepentingan hawa nafsunya dan merampas hak-hak orang lain yang tidak memberi uang suap atau mereka tidak mendapatkan hak-haknya sama sekali. Ditambah lemahnya keimanan orang yang mengambil uang suap. Maka dia berada dalam lembah murka Allâh k dan siksaan-Nya baik di dunia dan akhirat. Allâh k hanya menunda, bukan karena lupa. Dan boleh jadi siksaan disegerakan di dunia sebelum akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْعُقُوبَةَ لِصَاحِبِهِ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ.

Tidaklah ada suatu dosa yang paling layak disegerakan sanksinya oleh Allâh k bagi pelakunya di dunia, sementara masih ada simpanan baginya siksaan di akhirat dibanding melampui batas dan memutuskan silaturrahmi.
Tidak Sekadar Penjara
Dengan demikian, melawan korupsi dapat dimasukkan dalam kategori jihad, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang menyimpang, mencegah dorongan maksiat dan keinginan-keinginan yang merusak iman; melawan  kaum munafik, tukang tipu dan pengkhianat amanah;  melawan perilaku kotor para koruptor, orang-orang zhalim perampas hak orang banyak, pembobol uang negara, tukang pungli dan upeti.
Korupsi merupakan bentuk kezhaliman yang sangat licik. Koruptor adalah musuh dalam selimut. Ia senantiasa membokong orang atau pihak yang memberinya amanah. Saat ia disuruh mengamankan asset, ia justru menggelapkannya. Saat ia diberi amanah, ia mengambilnya dengan sekehendak hawa nafsu, tak peduli apakah amanah itu milik negara, perusahaan ataupun majikan. Padahal dalam muamalah, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pihak yang dikhianatinya itu adalah yang selama ini berjasa, menggajinya dan menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya.
Melihat kenyataan itu, koruptor layak kita masukkan dalam kategori musuh jihad, melawan orang-orang munafik dan zalim. Koruptor, baik yang beroperasi di perusahaan atau instansi pemerintah, di depan atasan, bawahan, atau masyarakat selalu menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya. Visi dan misi besarnya selalu dikatakan demi kemajuan kantor, perusahaan, instansi, bahkan bangsa dan negara.
Bahkan, saat sang koruptor memiliki jabatan di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, ia tak segan-segan mengobral janji, bahwa apa yang dilakukannya adalah demi kemakmuran rakyat, membela kaum miskin dan rakyat jelata. Ia selalu berusaha menampilkan dirinya sebagai pendekar pembela kebenaran dan pejuang keadilan. Namun, lihatlah berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini. Semuanya tampak jelas, seperti benderangnya matahari di siang bolong. Apa yang dilakukannya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang keluar dari bibirnya. Maka, koruptor sungguhlah orang-orang munafik, yang senang berkata dusta, yang saat berjanji ia ingkar, yang saat dipercaya ia khianat.
Nabi bersabda:
سَيَكُوْنَ فِي أُمَّتِي اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ , قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ الْقِيْلَ وَيُسِيْئُوْنَ الْفِعْلَ
Akan muncul di tengah umatku perpecahan dan perselisihan. Dan ada sekelompok kaum yang pandai berbicara dan buruk (kurang cakap) beramal.
Sementara itu, negara kita juga belum menemukan formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita. Namun, berbeda dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh pelaku korupsi.
Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa mengharapkan adanya sanksi yang setimpal beratnya dengan bobot kejahatan mereka, sembari memulai membangun usaha yang sungguh-sungguh (jihad) untuk paling tidak, menjauhkan diri kita dan orang-orang tercinta kita dari praktik korupsi.
Sanksi Dunia Bagi Koruptor
Banyak sekali ragam sanksi yang diterima pemakan harta haram terutama harta haram dari hasil korupsi, mulai sanksi di dunia, sanksi di alam kubur hingga hukuman di akherat berupa api neraka Jahannam, sehingga para koruptor pasti akan mendapat sanksi berat baik di dunia maupun di akherat. Di antara sanksi mereka adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengabulkan doanya dan mendapatkan siksaan pedih di alam kuburnya.
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ التيَّ أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمَ، لمَ ْتُصِبْهَا المُقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا
Dan demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain kecil dari harta ghanimah yang dia curi pada perang Khaibar yang diluar pembagian ghanimah akan menjadi bara api (di alam kuburnya).
Wahai saudaraku, rintangan hidup dan sanksi rohani maupun fisik yang diperoleh para koruptor dan pencuri harta negara setelah mati akan lebih pedih dan sangat berat karena tidak ada pengadilan yang lebih adil dan jujur daripada pengadilan akherat. Perbuatan korupsi ini menimbulkan dampak negatif yang sangat banyak dan dampaknya meluas, bahkan bisa lebih parah daripada terorisme. Karena korupsi membunuh karakter bangsa, menghancurkan ekonomi negara, melumatkan hak-hak rakyat, mengancam masa depan generasi bangsa, membuat masyarakat menderita secara dzahir maupun batin, mematikan sikap amanah dan kejujuran, merusak moral dan peradaban bangsa dan menghilangkan kepercayaan investor.
Oleh karena itu, darah daging yang tumbuh dari makanan dan minuman yang haram maka akan menjadi hidangan dan santapan api neraka. Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
يَا كَعْبُ بْنِ عُجْرَةُ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan tumbuh kecuali neraka paling berhak dengannya.
Adapun sanksi di dunia bisa berupa ta’zîr yaitu hukuman yang kadarnya sangat bergantung pada kebijakan pihak yang berwenang. Bahkan hukuman bagi para koruptor ini bisa dibunuh bila perbuatannya menimbulkan dampak negatif secara kolektif dan kekacauan secara umum berdasarkan firman Allah.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,  Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs al-Mâidah/5:33-34).
Para ulama sepakat bahwa pencopet, perampok dan perampas harta orang lain meskipun kejahatannya berat dan dosa besar tapi hukumannya bukan potong tangan. Dan diperbolehkan (bagi pemimpin neraka) dalam rangka menghentikan kejahatan mereka menerapkan untuk mereka hukuman cambuk, sanksi berat, penjara lama, dan denda besar yang membuat mereka jera.

Bab 3
Penyelesaian Masalah
Budaya korupsi yang semakin berkarat di Indonesia hendaknya diselesaikan secara menyeluruh bagi setiap lapisan masyarakat dengan cara memberikan penyuluhan atau pembelajaran tentang korupsi dalam stiap lembaga-lembaga birokrasi atau perbaikan sumber daya manusia Indonesia agar lebih bermoral dalam sikap anti korupsi. Hal itu bisa dilakukan dengan mngadakan pendidikian-pendidikan anti korupsi sejak usia dini.
Masalah korupsi bisa terjadi dimana-mana khususnya dalam suatu lembaga birokrasi, itu dikarenakan sifat manusia yang cenderung tamak dan tidak pernah puas dengan apa yang telah didapatkannya. Oleh karena itu hendaknya dalam pribadi manusia tersebut ditanamkanlah sifat-sifat bersyukur yang dimulai dari diri sendiri. Karena dengan sifat manusia yang selalu bersyukur manusia tidak akan tamak dan serakah. Dengan sifat yang selalu bersyukur Insya Allah Tuhanpun akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan manusia.
Korupsi dapat terjadi dikarenakan kurangnya iman dari seorang manusia, khususnya kurangnya pengetahuan tentang agama. Oleh karena itu hendaknya dilakukan kegiatan keagamaan secara sering, untuk mendekatkan setiap manusia kepada Sang Pencipta. Sehingga dengan selalu dekat dengan sang pencipta manusia akan berfikir ulang untuk melakukan tindakan korupsi.
Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah-daging di Indonesia, semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih. Tampaknya, semua urusan bisa berjalan lancar asalkan ada “saling pengertian”. Bahkan, semua menjadi “bisa diatur” sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Ini sudah menggurita dan berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara. Dari penjelasan diatas seharusnya pemerintah dapat membentuk lembaga-lembaga anti korupsi seperti KPK disetiap kabupaten/kota untuk pemberantasan korupsi secara maksimal tentunya dibarengi dengan kinerja pekerja dalam lembaga itu secara maksimal pula.
Pemerintah dapat membuat undang-undang pidana yang memberikan efek jera pada koruptor dengan hukuman pidana yang memberatkan, dan tentunya adil dan setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh kuruptor tersebut.


Bab 4
Penutup
Kesimpulan
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik.
Sebab-sebab terjadinya korupsi:
  1. Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
  2. Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
  3. Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan,  prilaku amanah dan profisionalime.
  4. Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
  5. Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
Mengubur Tradisi Korupsi dan Budaya Suap
Kita dapat mengubur budaya korupsi dan budaya suap dengan cara memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang benar suatu keharusan. Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Menghamba secara tulus kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala berarti menjalankan amanah.
Efek Suap dan Korupsi
Suap dan Korupsi hanya akan merugikan negara dan masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu-menahu akan terus hidup sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi bahkan hanya untuk memperkaya pribadi. Akibat selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pemerintah memudar.
Hukuman Bagi Koruptor
Negara kita juga belum menemukan formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita. Namun, berbeda dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh pelaku korupsi.
Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa mengharapkan adanya sanksi yang setimpal beratnya dengan bobot kejahatan mereka, sembari memulai membangun usaha yang sungguh-sungguh (jihad) untuk paling tidak, menjauhkan diri kita dan orang-orang tercinta kita dari praktik korupsi.
Banyak sekali ragam sanksi yang diterima pemakan harta haram terutama harta haram dari hasil korupsi, mulai sanksi di dunia, sanksi di alam kubur hingga hukuman di akherat berupa api neraka Jahannam, sehingga para koruptor pasti akan mendapat sanksi berat baik di dunia maupun di akherat.

Saran
·         Budaya korupsi yang semakin berkarat di Indonesia hendaknya diselesaikan secara menyeluruh bagi setiap lapisan masyarakat dengan cara memberikan penyuluhan atau pembelajaran tentang korupsi dalam stiap lembaga-lembaga birokrasi atau perbaikan sumber daya manusia Indonesia agar lebih bermoral dalam sikap anti korupsi.
·         Hendaknya dalam pribadi setiap manusia tersebut ditanamkan sifat-sifat bersyukur yang dimulai dari diri sendiri. Karena dengan sifat manusia yang selalu bersyukur manusia tidak akan tamak dan serakah. Dengan sifat yang selalu bersyukur Insya Allah Tuhanpun akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan manusia.
·         Mengadakan kegiatan keagamaan dalam masyarakat secara sering, untuk mendekatkan setiap manusia kepada Sang Pencipta. Sehingga dengan selalu dekat dengan sang pencipta manusia akan berfikir ulang untuk melakukan tindakan korupsi.
·         Pemerintah dapat membentuk lembaga-lembaga anti korupsi seperti KPK disetiap kabupaten/kota untuk pemberantasan korupsi secara maksimal tentunya dibarengi dengan kinerja pekerja dalam lembaga itu secara maksimal pula.
·         Pemerintah dapat membuat undang-undang pidana yang memberikan efek jera pada koruptor dengan hukuman pidana yang memberatkan, dan tentunya adil dan setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh kuruptor tersebut.


Daftar Pustaka
·         Febryan, Muhammad. 2011. Manajemen Keuangan Masalah Utama Birokrasi di Jabodetabek. Jakarta: Universitas Gunadarma.
·         Abidin, Zainal. 2011 Bila Budaya Korupsi Meracuni Birokrasi. Jakarta: SALAFIYUNPAD.
·         Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XIV 29 September 2011.
·         ebookbrowse.com/birdem-reformasi-birokrasi

Rabu, 07 Desember 2011

Bunga Jepun

Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…

Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002
Putu suta wijaya