Lulus dan tidak lulus merupakan jawaban atas penantian akan hasil ujian. Kelulus ujian bisa jadi merupakan momentum kegembiraan siswa, sekaligus penentu keberhasilan prestasi kognitif siswa dari proses pembelajaran dalam lingkup pendidikan formal Ketidaklulusan dianggap bencana massal dunia pendidikan kita, berbagai reaksi ekspresif pun muncul sebagai bentuk ketidakpuasan dan “merasa dirugikan” oleh sistem yang diterapkan. Kelulusan dan ketidaklulusan dalam ujian nasional selalu menjadi perdebatan panas berkaitan dengan sistem dan kualitas lulusan itu sendiri. Padahal, jika dicermati ada yang lebih sering terlupakan daripada persoalan lulus atau tidak lulus ujian yaitu kompetensi siswa yang tidak sekedar aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotoriknya sebagai bagian dari ranah pendidikan yang harus dikembangkan dalam diri dan potensi siswa. Lalu, bagaimana arti penting kompetensi?
Kompetensi bukan sekedar faktor nilai angka kelulusan atau ketidaklulusan dalam ujian tertulis dan bersifat teoritis karena kemampuan seseorang tidak bisa diukur hanya dari satu aspek saja. Sebuah kompetensi memiliki arti yang mewakili keseluruhan potensi yang dimiliki seseorang yang nantinya akan menumbuhkan kemampuan hingga keahlian di bidang tertentu yang bisa membangun dan mengembangkan kreativitas juga daya hidupnya. Kompetensi merupakan bangunan potensi yang berasal dari faktor psikologis, mental, moral, intelektual, spirituali, serta kemampuan motorik dan praktis, sehingga faktor-faktor tersebut harus benar-benar diikutsertakan dalam menerapkan sebuah standard kompetensi dan kelulusan, serta menentukan keunggulan komprehensif dari pengembangan potensi siwa melalui sebuah metode ujian. Dengan demikian, nilai keberhasilan siswa benar-benar mewakili kompetensi yang dimilikinya yang tidak bisa “dimanipulasi”.
Berbicara kompetensi dalam dunia pendidikan memang tidak akan lepas dari faktor sitem, kurikulum dan metode uji kompetensi itu sendiri. Sebuah realita bahwa ujian nasional merupakan momok yang menggejala hingga menimbulkan sindrom yang membebani banyak pihak, terutama siswa dan guru. Kenyataan ini hampir selalu berulang dari tahun ke tahun yang perlu diatasi secara serius.
Jika kita mau dan berupaya untuk mampu berpikir jernih, selalu ada 2 sisi dalam segala hal yang kita jalani, baik dan buruk – positif dan negatif. Bahkan dalam keburukan pun selalu tersisip hikmah, sehingga kita mau menjadi pembelajar. Ujian memiliki 2 kemungkinan lulus atau tidak lulus. Kelulusan bisa menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja ketika tujuan kita hanya sampai lulus semata. Lain halnya dengan orang yang memiliki tujuan dan harapan besar untuk melakukan atau melanjutkan langkah berikutnya, kelulusan bisa menjadi sebuah hal yang sangat penting dan berarti. Karena itu, keberhasilan tidak semata-mata ditentukan oleh kelulusan jika kita dapat membagi cara berpikir kita dengan membangun pemikiran baru yang bisa mengalihkan fokus terhadap kelulusan itu.
Kompetensi bukan sekedar faktor nilai angka kelulusan atau ketidaklulusan dalam ujian tertulis dan bersifat teoritis karena kemampuan seseorang tidak bisa diukur hanya dari satu aspek saja. Sebuah kompetensi memiliki arti yang mewakili keseluruhan potensi yang dimiliki seseorang yang nantinya akan menumbuhkan kemampuan hingga keahlian di bidang tertentu yang bisa membangun dan mengembangkan kreativitas juga daya hidupnya. Kompetensi merupakan bangunan potensi yang berasal dari faktor psikologis, mental, moral, intelektual, spirituali, serta kemampuan motorik dan praktis, sehingga faktor-faktor tersebut harus benar-benar diikutsertakan dalam menerapkan sebuah standard kompetensi dan kelulusan, serta menentukan keunggulan komprehensif dari pengembangan potensi siwa melalui sebuah metode ujian. Dengan demikian, nilai keberhasilan siswa benar-benar mewakili kompetensi yang dimilikinya yang tidak bisa “dimanipulasi”.
Berbicara kompetensi dalam dunia pendidikan memang tidak akan lepas dari faktor sitem, kurikulum dan metode uji kompetensi itu sendiri. Sebuah realita bahwa ujian nasional merupakan momok yang menggejala hingga menimbulkan sindrom yang membebani banyak pihak, terutama siswa dan guru. Kenyataan ini hampir selalu berulang dari tahun ke tahun yang perlu diatasi secara serius.
Jika kita mau dan berupaya untuk mampu berpikir jernih, selalu ada 2 sisi dalam segala hal yang kita jalani, baik dan buruk – positif dan negatif. Bahkan dalam keburukan pun selalu tersisip hikmah, sehingga kita mau menjadi pembelajar. Ujian memiliki 2 kemungkinan lulus atau tidak lulus. Kelulusan bisa menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja ketika tujuan kita hanya sampai lulus semata. Lain halnya dengan orang yang memiliki tujuan dan harapan besar untuk melakukan atau melanjutkan langkah berikutnya, kelulusan bisa menjadi sebuah hal yang sangat penting dan berarti. Karena itu, keberhasilan tidak semata-mata ditentukan oleh kelulusan jika kita dapat membagi cara berpikir kita dengan membangun pemikiran baru yang bisa mengalihkan fokus terhadap kelulusan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar