Senin, 06 Desember 2010

SEPAKBOLA “AGAMA” BARU?


KICK-OFF perdana Piala Dunia Afrika Selatan 2010 sudah bergulir 11 Juni lalu, masyarakat kita – tua dan muda – ramai-ramai menghabiskan energi dan waktu untuk menonton laga demi laga yang tersaji dilayar TV hampir 2 bulan ini. Mereka rela begadang hingga larut malam dan terkadang sengaja menghamburkan uang hanya untuk menyewa tempat-tempat tontonan kelas VIP diberbagai cafee, mall, hotel kelas elit. Sisa waktu dari pesta menonton tersebut dipergunakan untuk menceritakan adegan-adegan spektakuler atau tendangan-tendangan maut dari idola mereka. Tak lupa juga aksi-aksi liukan brilian dari bintang-bintang papan atas yang selalu menjadi sorotan dunia seperti Messi, Ronaldo, Kaka dan sederet ‘seniman bola’ lainya yang terkadang dipuja berlebihan.

Pertanyaannya adalah, apakah manfaat menonton sepakbola piala dunia? Tanpa mengingkari sisi positif dari prilaku tersebut. Sudah pasti menonton sepakbola adalah aktivitas menghabiskan waktu, berjaga malam, mata terfokus terlalu lama melihat layar bercahaya tajam bersegi empat adalah merugikan kesehatan tubuh dan mata. Apalagi diiringi dengan minuman kopi kental dan mengisap rokok berbatang-batang akan lebih sangat merugikan lagi kesehatan. Celakanya lagi, ajang ini juga dimanfaatkan sebagai arena bertaruh atau perjudian.

Penonton, pemain, dan mental kera

Secara gamblang dapat dibandingkan bahwa kondisi pemain dan penonton bola sangatlah jauh berbeda. Penonton bola dunia sangat dirugikan karena perbuatannya merusak kesehatan dirinya, merugikan uang, melalaikan pekerjaan dan menyia-nyiakan waktu. Sebaliknya permain bola sudah pasti mendapatkan mamfaat langsung bagi kesehatan fisiknya, ‘bermandi’ uang dari profesi yang mereka jalani. Gaji bintang ‘galacticos’ Cristiano Ronaldo saja milyaran perpekan. Bandingkan dengan gaji staf paling rendah dijajaran kantor pemerintahan kita yang hanya berupa ‘percikan’ kecil sekian persen dari gaji Ronaldo. Toh lagi pendapatan petani di gampong yang harus menjual padi atau hasil bumi lainya sebagai modal awal duduk berjam-jam di warkop demi menonton bintang pujaanya.

Lebih parah lagi, antara penonton dan pemain-pemain bola yang dijagokan tidak punya hubungan sama sekali, baik kekerabatan, kebangsaan maupun kenalan. Secara sederhana, menang-kalah tidak akan memberikan efek apapun bagi penonton, kecuali bagi yang bertaruh (judi). Sebaliknya, bagaimanapun kuat atau lemahnya dukungan penonton layar kaca bagi suatu bola dunia, tidak akan memberi mudharat atau mamfaat sedikitpun bagi pemain-pemain dan klub yang ditontonnya. Lucunya, penonton-penonton yang ada dalam masyarakat kita mereka sakit karena kalau timnya kalah, riang gembira kalau jagoanya menang. Mereka mengorbankan uang, waktu, pekerjaan dan bahkan perhatian kepada keluarga mereka karena bola. Sebenarnya ada apa dengan mentalitas kita?

Menjawab pertanyaan tersebut, penulis berasumsi bahwa masyarakat kita sedang mengindap penyakit jiwa yang isebut inferior complex. Piala dunia bagi kita, sesungguhnya telah menjadi alat ukur dan pemisah dua kelompak sosial lemah dan kuat, cerdas dan bodoh, hebat dan dungu. Dalam hal ini pemain-pemain dan klub bola merupakan kelompok masyarakat yang kuat, cerdas dan unggul, sementara penonton adalah masyarakat terbelakang, bodoh dan lemah.

Hal ini telah menjadi hal lumrah bagi yang para maniak bola, karena mereka berpegang pada euforia. Bola baginya adalah ideologi hidup. Katanya bola adalah soal harga diri, keunggulan ras dan pameo-pameo superioritas lainya. Bahwa mereka masyarakat penonton, merasa rendah dihadapan pemain-pemain dunia, merasa fisik lemah, mental bodoh, padahal semua itu merupakan ilusi yang terbentuk karena pengidolaan berlebihan bintang sepakbola.

Realitas sebenarnya, kita bukanlah masyarakat tidak berdaya, tidak pula bodoh dan tertinggal, tetapi masalahnya adalah karena mental kita yang selalu maunya memposisikan diri sebagai penonton dan tidak pernah berusaha menjadi pemain.  Karena mental kerdil ini, kita selalu mencari-mencari alasan untuk menjustifikasi posisi kita dengan mengebiri diri sendiri menjadi masyarakat yang tidak punya nyali.

Betul sekali, jika tim Brazil bertanding bola dengan tim Aceh, kita akan kalah berpuluh-puluh gol. Hal itu terjadi karena Brazil adalah ‘kiblat’ sepakbola dan con talenta-talenta sepakbola yang memiliki skill diatas rata-rata, selain negara-negara yang menjadikan sepakbola sebagai ‘agama’, seperti Inggris, Spanyol, Prancis, Argentina, Italia dll.

Brazil telah malatih diri, bertanding-tanding ribuan kali dan terus mengembang diri dalam olah raga bola sejak perpuluh-puluh tahun sebelumnya. Maka sangat wajar jika kita dikalahkan oleh lusinan gol karena belum mempersiapkan diri sama sekali sebelumnya. Kita belum memiliki kontinuitas dalam berlatih sedikitpun. Jika kita memiliki waktu latihan yang sama dengan tim Brazil, memiliki kesiapan mental yang sama adakah kita akan menjadi penonton yang kerdil?

Bahwa penonton-penonton yang cerdas memahami semua sisi-sisi negatif dari penontonan diatas, tetapi menyedihkan karena mereka tetap berdisiplin dengan tontonan itu. Sehingga muncul pertanyaan; “Kenapa mereka tetap melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuan mereka?”
Dalam Al-Quran diceritakan sekelompok kaum yang terus menerus diberikan peringatan dan mendapati pengetahuan yang baik dari pengajaran nabi-nabi, tetapi mereka tetap terus menerus mengingkari, tidak mengamalkan pengetahuan itu, maka Allah mengutuk mereka menjadikan manusia kera secara fisik dan mental. Dengan keadaan kita seperti ini, mungkinkah kita manusia kera secara mental, tidak secara fisik?
Sepak bola pada dasarnya adalah salah satu cabang olah raga yang dilakukan untuk tujuan kesehatan, namun perkembangan selanjutnya menjadi sarana produksi seni, kerja sama tim, bisnis dan hiburan. Diakui semua nilai positif diatas sebagian besarnya berlaku bagi pemain bola dan tim mereka. Sedangkan mamfaat yang bagi penontonnya adalah sebagai media hiburan, bisnis kecil-kecilan.

Karena kegunaan bola dunia bagi penontonnya sangat minim, yaitu sebagai sarana hiburan saja, maka dimanakah urgensitas dan prioritas menonton piala dunia bagi pemecahan masalah umat?
Jelas sekali sarana hiburan bukanlah solusi tepat bagi kondisi masyarakat sekarang. Masyarakat Aceh sendiri memiliki hiburan lokal yang lebih mengakar dan merakyat yang langsung lahir dari sejarah pergelutan hidup mereka. Jika memang alasan mereka menonton piala dunia sebagai seni penghibur lara, mereka yang haus kepada hiburan, maka piala dunia bukanlah media hiburan yang prioritas bagi masyarakat saat ini.

Pada hakikatnya seni adalah karya manusia yang lahir dari kreativitas dan daya imajinasi yang luhur. Menonton piala dunia merupakan kegiatan yang anti kreatifitas: semu dan pasif. Daya emosionalpun yang lahir dari tontonan bola, merupakan daya imaginatif yang mandul, karena kealpaan interaksi antara penonton dengan pemain bola dunia secara totalitas.

Tidak prioritas, karena masyarakat masih dapat menemukan media hiburan lain yang lebih mamfaat dan urgen seperti hikayat Aceh, saman, seudati, rapai, Pho, meuzike dan jenis seni-seni Aceh lain yang lebih islami, mendidik, interaktif dan menghibur. Bukankah penontonan yang massive kepada piala dunia telah mematikan seni Aceh dan kreativitas lokal?

Sungguh indah suatu saat dahulu, masyarakat kita berkerumunan memenuhi kedai-kedai kopi, menikmati hiburan-hiburan hikayat Aceh. Dalam situasi damai, penonton-penonton mendapat, hiburan, pengajaran dan peringatan dari pesan-pesan yang disampaikan hikayat. Bukan itu saja, ketika perang dengan Belanda berkecamuk, tentara-tentara Belanda menjadi getar ketakutan dihadapan masyarakat maniak hikayat. Karena hikayat prang sabi telah memberikan kekuatan ganda bagi pengemarnya, kekuatan iman, kekuatan roh dan kesenangan jiwa.

Piala dunia dan identitas

Hal yang lain yang perlu dicermati adalah “penglestarian identitas Aceh”. Bola dunia dapat melemahkan identitas lokal dan melahirkan identitas parasit. Semakin kecanduan masyarakat terhadap menonton bola, maka mereka akan semakin tercerai-berai berdasarkan tim yang dijagokan dan masing-masing kelompok tersebut pada akhirnya akan membentuk identitas baru, puak baru, genk baru. Kalau masyarakat sudah terkotak-kotak, maka kerusuhan mudah saja tersulut atas nama ideologi sepakbola.

Identitas yang lahir berdasarkan penjagoan klub bola adalah identitas semu dan parasit. Identitas etnis, budaya dan politik menjadi lemah karena identitas ideologi sepakbola. Fungsi-fungsi kenyamanan, kebangaan dan percaya diri yang diberikan identitas budaya masyarakat menjadi hilang karena piala dunia ini. Sementara identitas baru ini (suatu klub bola dunia) memberikan kebanggaan, kenyamanan dan percaya diri yang penuh ilusi. Hakikatnya, mereka sedang dihinggapi inferior complex. Apa saja rasa yang mereka alami sesungguhnya hanya perasaan rendah diri dihadapan jagoannya dan tidak berdaya dihadapan klub yang diunggulkannya.

Piala dunia; neo kolonial
Dalam skala lebih akut, kronis, dan kritis, penonton maniak bola akan menjadi boneka kapitalisme dan korban neo-kolonial. Karena tim dan pemain bola unggulannya telah dikontrak untuk kepentingan mengiklankan barang-barang produksi suatu perusahaan. Maka tidak pelak lagi, pengagum klub tersebut akan tergerak untuk menjadi konsumen semua barang yang diiklankan oleh klub atau jagoan timnya. Bagi mereka, jagoanya adalah suri teladan yang menjadi role model bagi segala gaya hidupnya.

Dalam kondisi terburuk, idola mereka (pemain jagoan) menjadi nabi bagi mereka, menghadiri atau menonton setiap pertandingan yang dilakoni sang idola idaman adalah ritual ibadah bagi mereka dan penyatuan emosional adalah identitas baru yang melambangkan ikrar kesetiaan kepada tim idola adalah kesatuan antara satu dengan lainnya. Inilah agama abad 21, agama tanpa iman kepada tuhan. Ada bantahan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar